Realita Waria dalam Larik Budaya



Dewasa ini isu – isu tentang gender dan sexualitas begitu marak hadir di tengah masyarakat. Bermacam – macam paradigma dan presepsi menyeruak menghadirkan polemik baru yang mengatasnamakan norma sebagai dalilnya. Gender dan sexualitas memang dua hal yang tak dapat dipisahkan, namun pada dasarnya terdapat perbedaan arti pada dua kata tersebut. Hal inilah yang sering disalahartikan oleh masyarakat.

Menurut glosasarium dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, sexualitas merupakan suatu hal yang merujuk pada jenis kelamin manusia seperti halnya pria dan wanita. Sedangkan gender merupakan sifat, peran dan perilaku yang melekat pada kaum pria maupun wanita yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Secara teoris sebenarnya gender awalnya hanya digawangi oleh sosok pria (maskulin) dan wanita (feminin). Namun perbedaan sifat, peran serta perilaku yang melekat pada diri seseorang tentunya memungkinkan munculnya gender ketiga atau yang lebih dikenal dengan istilah WARIA di Indonesia. Istilah "gender ketiga" hadir ketika seseorang merasa jika gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya.

Seperti yang kita tau, masyarakat cenderung mencampuradukkan makna dari dua istilah tersebut. Dari sinilah kesalahpahaman muncul tentang gender, sebagian masyarakat yang berpikiran sempit atau sebut saja kolot tentu berpikir bahwa definisi “Normal” jika dikaitkan dengan topik ‘gender’ adalah ketika seorang pria atau wanita berpenampilan atau berperan sesuai dengan jenis kelamin mereka.

Padahal jika kita menilik sejenak pada masa lalu, gender ketiga atau ‘WARIA’ sudah ikut ambil bagian dalam larik – larik budaya. Contohnya saja budaya ludruk di Jawa Timur yang banyak menampilkan waria dalam pementasannya. Mengapa demikian? Menurut Ganisa Rumpoko dalam risetnya tentang "Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan" Beliau mengatakan jika pada awalnya terdapat aturan tentang wanita dan pria dilarang sepanggung. Sehingga muncullah ide untuk menyiasati hal tersebut dengan mendandani pria dengan riasan wanita atau yang lebih kita kenal dengan istilah waria.

Kehadiran waria di tengah pementasan ludruk tentunya menambah animo masyarakat untuk menontonnya, banyak dari mereka yang jatuh terpingkal – pingkal melihat aksi kocak waria tersebut di atas panggung. Tak hanya itu, kehadiran para waria di panggung ludruk sudah jadi ciri khas dari pementasan itu sendiri ditambah lagi dengan guyonan receh yang alurnya tak jauh – jauh dari kehidupan sehari – hari. 

Dalam sebuah pementasan ludruk, sebagian pemerannya yang merupakan pria merias diri layaknya wanita hanya pada waktu pementasan saja, dengan kata lain transformasi yang para pria ini lakukan hanya bersifat sementara atau tidak permanen. Singkatnya ini hanyalah masalah totalitas dalam pekerjaan.

Sedangkan sebagian lainnya tak sedikit yang memang mengakui identitasnya sebagai waria. Mereka bahkan berpikir jika dalam pementasan inilah kehadiran mereka benar – benar dibutuhkan dan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mereka menikmati setiap lakon yang mereka lakukakan, bahkan banyak dari mereka yang rela merombak tubuh mereka demi terlihat sebagai wanita sungguhan seperti pemasangan implan payudara, suntik botox dan lain – lain.

Tetapi seperti yang kita lihat saat ini, keberadaan waria masih lekat dengan stigma negatif yang ditancapkan oleh masyarakat. Waria atau yang lebih kita kenal dengan nama banci merupakan pria yang berpenampilan dan memiliki sifat layaknya wanita. Mereka merias diri dan berpakaian layaknya wanita. Banyak dari mereka yang merasa terjebak dalam tubuh yang salah sehingga mereka mencoba bertransformasi sebagai wanita. Hal ini tentu bukanlah hal yang mudah bagi mereka, stigma dan paradigma negatif tentang waria masih jadi halangan terberat untuk mereka.

Tanpa mereka sadari mereka berada pada persimpangan jalan di antara meneguhkan hati demi membangun identitas baru sebagai wanita yang sejak dulu mereka idam – idamkan atau berpura – pura patuh pada norma dan paradigma masyarakat. Hidup ini pilihan. Bagi mereka (para waria) yang sedang berkeliaran di luar sana, transformasi adalah suatu proses menjejakkan jati diri, selain itu juga dalam rangka membuktikan existensi dan keberadaan mereka di mata dunia.

Mereka lahir dengan identitas baru, namun alam semesta lagi – lagi menampar mereka dengan realita yang ada. Stigma yang melekat dalam diri waria lagi – lagi menyulitkan pergerakan mereka. Tak jarang mereka harus memisahkan diri dari ikatan keluarga, karena nyatanya keluarga mereka sendirilah yang pertama kali menghakimi perubahan mereka. ‘Penerimaan’ adalah hal yang paling mereka inginkan dibalik menggebu – gebunya transformasi yang mereka lakukan. Sederhananya mereka hanya ingin bebas berekspresi di tengah lingkungan yang juga mendukung setiap langkah mereka.


Selain itu tak jarang pula masyarakat menatap nyinyir dan mengasingkan keberadaan mereka. Hal ini tentu saja berpengaruh pada mata pencaharian mereka. Seperti yang saya kutip dari artikel yang ditulis Kartika Ikawati mengenai "Sonya Vanessa, Transgender yang Tak Takut Mati", dalam wawancaranya tersebut Sonya Vanessa mengatakan Jika pilihan pekerjaan bagi waria hanya ada tiga yaitu menjadi pengamen, penata rambut di salon atau PSK (Pekerja Seks Komersial).

Tiga pekerjaan ini dirasa cocok dengan image waria. Lgipula dengan pemikiran masyarakat Indonesia yang masih kolot mengenai gender, mana ada perusahaan yang mau menerima identitas mereka selain tiga pekerjaan tersebut. Menjadi PSK tentu jadi pekerjaan yang paling miris, bagaimana tidak? Menjual tubuh mereka demi beberapa lembar uang jadi santapan penuh ironi bagi mereka yang memilih pekerjaan ini.   Tentu saja bisa dipastikan, orang – orang yang menyewa jasa mereka adalah pria hidung belang.

Singkatnya ini sebuah ironi, bagaimana bisa manusia dibeda – bedakan lewat tampilan nyeleneh yang dinaungi oleh gender? Bagaimana bisa, masyarakat memiliki pandangan yang begitu sempit soal gender? Padahal waria sudah ambil bagian dari budaya mereka sendiri. Ini sungguh sebuah ketidakadilan yang hakiki. Manusia harusnya sadar bagimana cara menghargai perbedaan. Bukankah ini sebuah implementasi dari Bhineka Tunggal Ika yang sudah diagung – agungkan sejak kita masih kecil. Nyatanya presespsi, stigma dan paradigma yang salah kaprah telah menghasut manusia untuk mengasingkan keberadaan waria yang pada kenyataannya juga sama – sama manusia.

Apapun realitanya seharusnya kita dapat menghargai orang - orang di sekitar kita karena pada dasarnya waria juga manusia yang punya hak yang sama dengan kita, meskipun mereka berpenampilan berbeda. Ikut sertanya waria dalam budaya kita membuktikan bahwa perbedaan gender hanya sebuah istilah yang harusnya tidak mengurangi rasa toleransi di antara kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Tuhan Singgah

Advan i6, Smartphone Murah yang Ciamik Banget!